
Jenar, Sragen – Rabu (22/10/2025) – Dunia pendidikan kejuruan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), menghadapi tantangan baru di era digital: fenomena “Brain Rot” atau “pembusukan otak”. Istilah populer yang bahkan menjadi Oxford Word of the Year 2024 ini merujuk pada penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten digital yang berlebihan, dangkal, dan berulang-ulang.
Jika tidak segera diatasi, “Brain Rot” berpotensi menjadi penghalang serius bagi siswa SMK untuk mencapai kompetensi kerja yang dibutuhkan industri.
Apa Itu Brain Rot dan Mengapa Berbahaya bagi Siswa Vokasi?
“Brain Rot” bukanlah diagnosis medis resmi, melainkan istilah yang menggambarkan kondisi melemahnya otak karena terbiasa menerima stimulus cepat dan tanpa tantangan berpikir mendalam dari media sosial, seperti video pendek, prank, atau meme yang berorientasi hiburan instan.
Bagi siswa SMK, yang fokus pendidikannya adalah keterampilan praktis dan keahlian mendalam, dampak dari fenomena ini sangat merugikan:
- Menurunnya Kemampuan Berpikir Kritis dan Analisis: Pendidikan vokasi menuntut siswa untuk memecahkan masalah kompleks, menganalisis kerusakan mesin, atau merancang alur kerja produksi. Brain Rot merusak lobus prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab atas pemrosesan informasi kompleks dan pengambilan keputusan. Siswa yang terpapar Brain Rot cenderung mengandalkan insting dan sulit menganalisis masalah secara mendalam.
- Kehilangan Fokus dan Konsentrasi: Konten digital yang serba cepat melatih otak untuk memiliki rentang perhatian (attention span) yang sangat pendek. Hal ini menjadi masalah besar di SMK, di mana praktik bengkel, laboratorium, atau proses pembelajaran berbasis proyek (PjBL) memerlukan fokus mendalam dalam waktu yang lama.
- Malas Belajar dan Kurangnya Motivasi: Ketergantungan pada dopamin instan dari media sosial membuat siswa kesulitan menikmati atau melakukan aktivitas yang memerlukan usaha lebih, seperti membaca buku modul tebal, menyusun laporan praktik kerja industri (PKL), atau mengikuti pelajaran teori yang membutuhkan kesabaran.
Brain Rot: Ancaman Nyata Terhadap Kompetensi Lulusan SMK
Tujuan utama SMK adalah mencetak lulusan yang siap kerja, kompeten, dan adaptif sesuai standar industri. Fenomena “Brain Rot” secara langsung mengancam kualitas lulusan karena:
- Gagal dalam Praktik Lapangan (PKL): Siswa yang kesulitan berkonsentrasi dan menganalisis masalah akan kesulitan saat dihadapkan pada situasi kerja nyata di dunia usaha dan dunia industri (DUDI), yang menuntut ketelitian dan kemampuan pemecahan masalah (problem solving).
- Keterampilan Interpersonal yang Buruk: Brain Rot seringkali memicu isolasi sosial dan komunikasi yang buruk. Padahal, industri modern sangat menghargai keterampilan teamwork dan komunikasi efektif.
- Kecanduan Gawai Mengganggu Disiplin: Kecanduan gawai membuat siswa abai terhadap tugas, sering bermain game atau media sosial di kelas, bahkan saat jam pelajaran praktik, yang secara langsung mengganggu disiplin dan etos kerja yang merupakan modal utama lulusan SMK.
Langkah Strategis Sekolah dan Keluarga
Mengatasi Brain Rot pada siswa Gen Z membutuhkan kolaborasi erat antara sekolah, keluarga, dan siswa itu sendiri.
- Peran Sekolah:
- Membangun Literasi Digital Kritis: Sekolah harus mengajarkan siswa cara memilah dan mengevaluasi informasi, bukan sekadar menggunakannya.
- Mendorong Pembelajaran Aktif: Penerapan model pembelajaran berbasis proyek (PBL) dan Teaching Factory (TeFa) yang menantang dan membutuhkan kerja sama tim dapat melatih kembali nalar kritis siswa.
- Edukasi Kesehatan Mental: Sekolah perlu mengedukasi tentang bahaya doom scrolling dan pentingnya membatasi screen time (disarankan tidak lebih dari 1-2 jam di luar jam sekolah).
- Peran Keluarga:
- Orang tua diharapkan memberikan contoh penggunaan gawai yang sehat, mendorong anak untuk terlibat dalam aktivitas non-digital yang merangsang otak, seperti membaca, berdiskusi, atau berolahraga.
Pendidikan vokasi yang unggul harus ditopang oleh pikiran yang tajam. Melawan Brain Rot adalah bagian integral dari upaya menyelamatkan masa depan generasi muda agar mereka menjadi lulusan SMK yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki nalar yang kuat dan siap menghadapi persaingan kerja di masa depan. (Hsone)
